Miras dan Ancaman Laten bagi Keistimewaan Yogyakarta


Banner peringatan dan penolakan miras tersemat di depan Indomaret Jl. Magelang, Rabu (18/12/2024). FOTO JELAJAHWANGSA/ Rizki Amanda.



Peristiwa di Prawirotaman


Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) digegerkan dengan insiden penganiayaan berupa penikaman yang terjadi di Prawirotaman pada Rabu (23/10/2024) malam. Setidaknya, ada 2 orang mengalami luka cukup berat sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Pelaku yang berjumlah 7 orang pun segera diamankan oleh pihak berwajib pada Selasa (29/10/2024). Setelah diselidiki, aktivitas pelaku yang melibatkan miras diketahui menjadi faktor utama. Hal ini lantas menjadi sorotan publik.


Kedua korban diketahui merupakan santri salah satu pondok pesantren di Krapyak, Yogyakarta. Akibatnya, ribuan santri dan warga Nahdlatul Ulama (NU) menggelar demonstrasi di Markas Polda DIY pada Selasa (29/10/2024). Dalam aksi yang dihadiri sekitar 11 ribu orang, para peserta menuntut penegakan hukum terhadap semua pelaku penganiayaan dan mendesak pemerintah agar memberantas peredaran minuman keras. Peserta aksi menilai miras sebagai pemicu tindak kejahatan. 


Aksi protes terhadap isu ini pun tak selesai sampai di situ.  Pada Minggu (3/11/2024), sekitar 200 kader Muhammadiyah menyuarakan keresahan serta penolakan mereka terhadap miras di Simpang Lima Karangnongko, Kulon Progo. Pun ternyata, sebelum kelompok santri turun ke jalanan pada Selasa (29/10/2024), Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) telah terlebih dahulu menggelar aksi di Pelataran Pendopo Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta pada Jumat (25/10/2024). Melalui perwakilan FUI, surat terkait desakan untuk menindaklanjuti persebaran miras dilayangkan untuk Gubernur DIY.


Serangkaian aksi tersebut mencerminkan keprihatinan masyarakat terhadap langgengnya keberadaan miras di DIY. Insiden penikaman di Prawirotaman dipandang merusak citra DIY sebagai destinasi wisata yang aman, ramah, dan nyaman. Apalagi, Prawirotaman merupakan daerah yang kerap dikunjungi oleh wisatawan baik itu lokal maupun mancanegara. Hal ini juga mendorong penguatan sentimen negatif terhadap para pendatang, menyinggung isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA). 


Dinamika Miras  di DIY


Polda DIY berhasil mengamankan beberapa jenis merek miras. FOTO: jogjapolri.go.id

Daftar kasus yang bersinggungan dengan miras di DIY tidak hanya diisi oleh insiden penganiayaan di Prawirotaman. Pada Selasa (11/12/2018) lalu, 12 orang ditangkap setelah terlibat dalam pesta seks di Sleman yang melibatkan miras. Kemudian, pada Senin (5/7/2022), 9 jeriken berisi miras ditemukan di lokasi kericuhan di Babarsari, Sleman. Insiden tersebut sempat menjadi perhatian publik karena melibatkan aksi kekerasan antarkelompok dan perusakan properti. Satuan Brimob sampai dikerahkan untuk meredam situasi.


Peristiwa tragis terkait miras lantas kembali terjadi ipada Minggu (5/3/2023). Seorang pria di Sleman berhalusinasi setelah mengonsumsi 4 botol miras dan terlibat dalam aksi kekerasan terhadap pengguna jalan. Lalu, pada Oktober 2023, yakni 7 orang dikonfirmasi tewas akibat mengonsumsi miras oplosan. Insiden lagi-lagi terjadi pada Sabtu (12/10/2024), 11 hari sebelum insiden penganiayaan di Prawirotaman. Sekelompok remaja menjadi pelaku klitih di Catuharjo, Sleman, dipicu oleh pesta miras beberapa saat sebelumnya. 


Berdasarkan kasus-kasus tersebut, miras dan dampak buruknya tidaklah pandang bulu. Ia bisa melibatkan segala pihak dengan berbagai latar belakang.


Harga miras yang mahal tidak mengurangi jumlah pegonsumsi miras. FOTO JELAJAHWANGSA/ Damelia Agnes

Rachmad, seorang mahasiswa UPN “Veteran” Yogyakarta asal Sumatra Barat (Sumbar), memberikan pandangannya terkait fenomena tersebut. Sebagai sosok yang pernah mengonsumsi miras, ia memiliki alasan mengapa miras cukup langgeng, termasuk di kalangan mahasiswa DIY yang identik dengan kelompok pendatang.


“Meningkatnya jumlah pengonsumsi miras di Yogyakarta dikarenakan tingkat kesulitan tugas dan banyaknya kegiatan kuliah sehingga mengambil jalan untuk mengonsumsi miras dengan harapan dapat menghilangkan rasa pusing yang dialaminya, mahasiswa yang mengonsumsi miras di Yogyakarta itu salah satunya karena budaya dari daerah asalnya yang mungkin sudah terbiasa dengan budaya minum miras serta dianggap hal yang biasa” ungkap Rachmad.


Selain Rahcmad, seorang mahasiswa asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang saat ini menempuh pendidikan tinggi di DIY berinisial MJ turut mengungkapkan pandangan senada. MJ mengatakan, umumnya isu pergaulan menjadi faktor utama yang memengaruhi para perantau. Hal ini meliputi mahasiswa dari luar DIY.


“Mereka mengonsumsi miras untuk menghilangkan stres, kecemasan, atau tekanan sementara. Selain itu, rasa ingin tahu dan tekanan sosial juga menekan mereka untuk melakukannya demi mendapatkan sesuatu seperti pengakuan dari teman sebaya,” tutur MJ.


Adapun Rizaldo, mahasiswa asal Jawa Timur (Jatim), menyangkal pandangan terkait status pendatang selaku dalang di balik meningkatnya permasalahan miras. Pun, ia memiliki pandangan yang lebih permisif atau terbuka dengan peredaran minuman tersebut.


“Para pengonsumsi miras tidak serta-merta menjadi kriminal (hanya) karena pengaruh (sebagai) pendatang. Gua kalau mabuk, mah, tidur, enggak kayak orang lain-lain yang rusuh. Yang rusuh itu, ya, orang yang setengah mabuk. Itu juga dipengaruhi seberapa sering dan banyak miras yang ia minum. Selama wajar, gua pikir ga masalah,” ucapnya.


Di DIY, penjualan miras diatur secara ketat dengan hanya sekitar 21 tempat yang memiliki izin resmi untuk menjualnya. Setiap penjual diwajibkan untuk mematuhi Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur jenis miras yang boleh dijual dan lokasi penjualannya.


Pelegalan penjualan miras didorong oleh beberapa faktor, utamanya aspek ekonomi dan pariwisata. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan pengawasan terhadap peredaran miras. Para pelaku industri pariwisata, seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), mendukung legalisasi ini agar pemerintah dapat melakukan kontrol yang lebih baik untuk meminimalisasi efek negatif penjualan. Dengan status Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata, keberadaan miras dianggap sebagai bagian dari kebutuhan wisatawan, terutama dari luar negeri yang lazim mengonsumsi minuman beralkohol.


Selain itu, UU Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2019 juga berkontribusi pada pelonggaran peraturan terkait penjualan miras. Dengan adanya undang-undang ini, proses pengajuan izin usaha menjadi lebih mudah sehingga banyaknya toko miras baru bermunculan di berbagai lokasi. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat terkait dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkan oleh peredaran miras yang semakin luas. Banyak pihak, khususnya organisasi Islam, menyuarakan penolakan terhadap peredaran miras karena dianggap merusak generasi muda.


Pelegalan ini pun memiliki efek pedang bermata dua. Di satu sisi, legalisasi dapat meningkatkan pendapatan daerah melalui pajak dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor pariwisata. Di sisi lain, meningkatnya aksesibilitas miras juga dapat menimbulkan masalah sosial seperti peningkatan potensi konflik. Selain itu, UU Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2019 berkontribusi pada pelonggaran peraturan terkait penjualan miras dengan mempermudah proses pengajuan izin usaha


Tanggapan Pemerintah


Dilansir dari kumparan.com, Wakil Ketua PW Muhammadiyah DIY, Iwan Setiawan, mengatakan peredaran miras di Yogyakarta sudah di tahap yang mengkhawatirkan. Bahkan, aktivitas mengonsumsinya seakan sudah biasa layaknya membeli es teh. 


“Jangan bayangkan beli miras, nenggak, itu enggak. Beli miras kayak beli es teh pakai plastik dan itu investigasi dari teman KOKAM sudah melihat kejadian seperti itu. Anak-anak mengira itu minuman biasa, ternyata minuman keras,” ungkapnya.


Berdasarkan hasil investigasi dari pihaknya dalam dua tahun terakhir, tercatat setidaknya ada sekitar 80 outlet miras di Yogyakarta. 70% berada di Sleman, disusul dengan Kota Jogja dan Bantul, lalu sebagian kecil di Gunungkidul dan Kulon Progo.


Berdasarkan keterangan dari Dirkrimsus Polda DIY, Kombes Pol Idham Mahd, Ditreskrimsus berhasil menyita 2883 botol dengan rincian kegiatan subdit 1 sebanyak 2.178 botol yang terdiri dari Golongan B dan C. Sedangkan Subdit 2, petugas berhasil menyita 705 botol dengan rincian, Golongan A sebanyak 324 botol, Golongan B sebanyak 319 botol, dan Golongan C sebanyak 62 botol dari kawasan Prawirotaman, Yogyakarta.


Grafik Damelia Agnes: Sumber: polri.go.id

Minuman beralkohol di Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga golongan berdasarkan kadar alkoholnya, yaitu Golongan A (hingga 5%), Golongan B (5% hingga 20%), dan Golongan C (lebih dari 20% hingga 55%). 

Untuk Golongan A dengan kadar alkohol rendah, yakni di bawah 5%, terdiri dari berbagai jenis bir seperti Bintang, Anker, dan Heineken.

Lalu, Golongan B mencakup minuman dengan kadar alkohol sedang, yakni sekitar 14%, seperti Anggur Merah dan Anggur Kolesom Cap Orang Tua, serta wine lokal seperti Plaga Wine dan Hatten Wines dari Bali.

Adapun Golongan C mencakup minuman dengan kadar alkohol tinggi seperti vodka (Mansion House Vodka), whisky (Jack Daniel’s, Johnnie Walker, dan Mansion House Whisky), brandy lokal seperti Anggur Cap Orang Tua versi Brandy, dan minuman tradisional seperti Arak Bali, yang memiliki kadar alkohol 20%-50%.

Selain itu, soju asal Korea, seperti Jinro Soju, dengan kadar alkohol 20%-25%, juga masuk kategori ini. Meskipun berbagai jenis minuman beralkohol ini tersedia di pasaran, distribusi dan konsumsinya di Indonesia diatur dengan ketat dan hanya diperbolehkan di lokasi tertentu dengan izin resmi sesuai regulasi yang berlaku.

Keberagaman outlet miras yang memproduksi dan menjual di Yogyakarta dengan label atau merek mulai dari yang kurang familiar hingga pada label yang cukup familiar di masyarakat. Salah satu label tersebut adalah Vodka dan Anggur yang dapat ditemukan di Outlet 23 di daerah Sleman yang biasa dikonsumsi ketika keadaan stress dan juga ingin merayakan perasaan senang dengan teman-teman.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah mengambil langkah tegas dalam mengendalikan peredaran minuman keras (miras) ilegal. Berdasarkan data terbaru, hampir 90% outlet penjual miras ilegal di Kota Yogyakarta telah ditutup dan disegel oleh pihak berwenang. 

Di Kabupaten Sleman, dari hasil inventarisasi terdapat 18 usaha penjualan minuman beralkohol yang mengantongi izin resmi, sementara 83 usaha lainnya tidak berizin. Penertiban serentak telah dilakukan dengan menutup sebanyak 62 tempat penjualan minuman beralkohol ilegal yang tersebar di 17 kapanewon. 

Secara keseluruhan Polda DIY mengumumkan telah menyegel sebanyak 38 toko atau outlet penjual minuman keras ilegal di sejumlah wilayah. Beberapa toko yang telah disegel antara lain Outlet 23 dengan beberapa cabang di Gedongtengen, Prawirotaman, Timoho, dan Jalan Parangtritis. 

Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada data resmi yang dipublikasikan mengenai jumlah pasti outlet penjual miras yang masih beroperasi, baik yang legal maupun ilegal di seluruh wilayah Yogyakarta. Pemerintah dan aparat penegak hukum terus melakukan pengawasan dan penertiban untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

Tanggapan Para Ahli

Dilansir dari sehatnegeriku.kemkes.go.id, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, dr. Danardi Sosrosumihardjo, Sp.J(K) bahwa alkohol dapat menurunkan kemampuan berpikir, menyebabkan gangguan perilaku, dan meningkatkan risiko kesehatan serius seperti tukak lambung, kerusakan hati, hingga gangguan psikiatri berat. Dampak negatif ini tidak hanya berpengaruh pada pihak yang mengonsumsinya, tetapi juga memiliki implikasi luas terhadap sumber daya manusia (SDM) dan citra suatu daerah.

Ketika individu mengalami gangguan mental atau fisik akibat alkohol, produktivitas mereka dapat menurun. Penurunan ini dapat menghambat perkembangan ekonomi dan sosial di lingkungan sekitar. Selain itu, peningkatan masalah kesehatan masyarakat yang terkait dengan alkohol dapat membebani sistem kesehatan dan menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.


Dari segi citra daerah, meningkatnya jumlah pengonsumsi miras dan insiden yang terkait dapat merusak reputasi suatu wilayah sebagai tempat wisata atau tempat tinggal yang aman dan nyaman. Berita negatif tentang kekerasan atau masalah sosial yang muncul akibat pengaruh alkohol dapat membuat wisatawan ragu untuk berkunjung, sehingga berdampak pada sektor pariwisata yang merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi daerah tersebut.


Uraian yang selaras juga dapat dipahami dengan konsep Sapta Pesona. Sapta Pesona adalah konsep yang terdiri dari tujuh unsur penting yang harus diwujudkan untuk menarik minat wisatawan, yaitu aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Konsep ini sangat penting dalam pengembangan pariwisata karena menciptakan kondisi yang kondusif bagi wisatawan dan meningkatkan daya tarik suatu daerah. Dengan menerapkan Sapta Pesona, destinasi wisata dapat memberikan pengalaman yang positif bagi pengunjung hingga pada gilirannya akan mendorong kunjungan ulang dan promosi dari mulut ke mulut.


Pengaruh miras terhadap keistimewaan DIY dapat dianalisis melalui konsep Sapta Pesona, yang terdiri dari tujuh unsur penting dalam menciptakan pengalaman wisata yang positif: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Konsumsi miras yang tidak terkendali sering kali mengakibatkan insiden kekerasan dan gangguan keamanan, seperti perkelahian atau keributan di tempat umum. Hal ini tentu dapat menciptakan rasa tidak aman bagi wisatawan. Selain itu, perilaku negatif yang muncul akibat pengaruh alkohol dapat menciptakan suasana tidak tertib, misalnya melalui kerumunan yang gaduh atau tindakan kriminal. Kebersihan lingkungan juga terancam oleh sampah sisa minuman keras yang dibuang sembarangan. Tentu permasalah tersebut bertentangan dengan prinsip menjaga kebersihan sebagai bagian dari Sapta Pesona.


Untuk menjaga keistimewaan Yogyakarta sebagai destinasi wisata, penting untuk melakukan pengelolaan peredaran miras secara efektif agar tidak mengganggu unsur-unsur dalam Sapta Pesona. Ini termasuk penegakan hukum yang lebih ketat terhadap penjualan miras ilegal dan penyuluhan kepada masyarakat serta wisatawan tentang dampak negatif alkohol.


Upaya kolaboratif antara pemerintah daerah, pelaku industri pariwisata, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan penuh kenangan bagi semua pengunjung. Dengan demikian, pengalaman wisatawan dapat terjaga dengan baik dan citra Yogyakarta sebagai tujuan wisata tetap positif, meningkatkan kemungkinan wisatawan untuk kembali dan merekomendasikan kota ini kepada orang lain.


Tanggapan Pengamat Pariwisata

Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan, budaya, dan ekonomi, memiliki citra positif yang harus dijaga bersama oleh seluruh pihak. Sebagai kota pelajar dan destinasi wisata, Jogja menjadi tempat yang diandalkan banyak orang untuk belajar, berwisata, dan mengembangkan diri. Namun, citra ini dapat terganggu oleh berbagai isu, termasuk berita tentang kriminalitas dan peredaran alkohol yang tidak terkendali.

Dikutip dari kumparan.com, Pengamat pariwisata sekaligus Ketua Penasihat Kamar Dagang Indonesia (Kadin) DIY, Tanzir Abdullah menegaskan bahwa menjaga citra positif Jogja adalah tanggung jawab bersama. Menurutnya, berita negatif seperti kriminalitas atau penyalahgunaan alkohol tidak hanya berdampak pada pelajar dan masyarakat lokal, tetapi juga menurunkan dayatarik Jogja sebagai destinasi wisata. Jika dibiarkan, hal ini dapat mengurangi kunjungan wisatawan dan menurunkan potensi ekonomi daerah.

"Jogja ini kan pilarnya pendidikan, budaya, dan ekonomi. Ini kita semua berkepentingan untuk menjaga citra positifnya dengan menekan berita-berita negatif," katanya saat dihubungi Tugu Jogja pada Jumat (25/10/2024).

“Ini kan membuat orang bersekolah, kuliah, dan wisata di Jogja membaca berita kriminalitas hingga minuman alkohol, ini harus ditekan,” imbuhnya.

Meskipun konsumsi alkohol tidak sepenuhnya dilarang, pengawasannya harus diperketat untuk mencegah dampak negatif, khususnya bagi generasi muda. Peredaran bebas yang tidak terkontrol, seperti pembelian dari kos dapat merusak reputasi Jogja sebagai kota pelajar dan budaya.

“Bukan alkohol tidak boleh konsumsi tapi hanya bisa orang-orang tertentu bukannya bisa seenaknya pesan dari kos. Dampaknya ini kepada image Jogja akan rusak dan justru menguntungkan daerah lain,” katanya.

Oleh karena itu, langkah konkret diperlukan untuk melindungi citra Jogja. Kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha diperlukan dalam menekan isu-isu negatif. Pengawasan ketat, penguatan nilai-nilai budaya, serta upaya menciptakan berita positif menjadi kunci agar Jogja tetap menjadi kota yang ramah, aman, dan penuh potensi bagi semua pihak.

Dampak Sering Mengonsumsi Miras


Upaya Menginventarisasi Penjual Miras

Peristiwa di Prawirotaman tePeristiwa di Prawirotaman telah menarik perhatian pemerintah daerah dan masyarakat Yogyakarta, mengingat kawasan ini merupakan salah satu destinasi wisata yang populer. Insiden tersebut menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap citra pariwisata Yogyakarta.

Menanggapi hal ini, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengeluarkan Instruksi Gubernur tentang pengendalian peredaran minuman keras (miras) di DIY. Instruksi ini melarang penjualan minuman beralkohol melalui layanan antar online dan menginstruksikan para kepala daerah untuk menginventarisasi penjual minuman beralkohol di wilayah masing-masing. 

Dilansir dari cnnindonesia.com Berikut isi dari Instruksi Gubernur DIY Nomor 5 Tahun 2024 tentang Optimalisasi Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang terdiri atas delapan diktum dan ditujukan untuk ke lima kepala daerah di Provinsi DIY yaitu :

KESATU: Melakukan inventarisasi terhadap penjual langsung, pengeer, produsen, importir terdaftar minuman beralkohol, distributor, sub distributor, toko bebas bea, maupun pelaku usaha lain yang melakukan kegiatan peredaran, penjualan, dan/atau penyimpanan minuman beralkohol.

KEDUA: Memastikan bahwa kegiatan peredaran, penjualan, dan/atau penyimpanan minuman beralkohol telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain:

a. Telah memiliki izin sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. telah sesuai dengan perizinan yang dimiliki;

c. Peredaran minuman beralkohol tidak dilakukan di tempat-tempat yang dilarang dan tidak melanggar jarak minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan;

d. pelaku usaha dilarang menjual minuman beralkohol kepada konsumen yang berusia kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun; dan

e. Penjualan minuman beralkohol dilarang dilakukan secara dalam jaringan (daring), termasuk di dalamnya dilarang dilakukan dengan sistem layanan antar (delivery service).

KETIGA: Membentuk dan/atau mengoptimalkan tim dalam rangka pengawasan minuman beralkohol.

KEEMPAT: Mengoptimalkan peran Forkopimda dalam rangka pengawasan minuman beralkohol.

KELIMA: Melibatkan dan mengoptimalkan peran pemerintah kelurahan, kampung, RT, RW, jaga warga, dan elemen masyarakat lain dalam pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol.

KEENAM: Melakukan penertiban dan penegakan hukum terhadap pelanggaran ketentuan peredaran, penjualan, dan/atau minuman beralkohol.

KETUJUH: Melakukan analisis dan evaluasi produk hukum daerah yang terkait dengan pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol di daerahnya.

KEDELAPAN: Segera melaporkan pelaksanaan instruksi gubernur ini kepada gubernur paling lambat 15 hari kerja sejak instruksi gubernur ini mulai berlaku.

"Berlaku mulai hari ini, 30 Oktober 2024, dan disampaikan ke bupati/wali kota hari ini juga, termasuk diinformasikan juga ke DPRD DIY. Lalu ditembuskan ke Kemendag, supaya semuanya saling bisa bersinergi," kata Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Beny Suharsono saat dimintai konfirmasi wartawan, dilansir detikJogja, Rabu (30/10/2024).

Selain itu, Sultan HB X meminta para bupati dan wali kota di DIY untuk menjalankan delapan poin ketentuan yang bertujuan menjaga kerukunan dan toleransi di masyarakat. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap berbagai insiden yang dapat mencoreng citra Yogyakarta sebagai kota yang toleran dan ramah bagi wisatawan. 

Pemerintah daerah juga berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga warisan budaya dan nilai-nilai lokal. Salah satu bentuknya adalah melalui program-program yang melibatkan masyarakat dalam pelestarian naskah kuno dan budaya nusantara. 

Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah daerah berharap dapat meminimalkan dampak negatif peristiwa di Prawirotaman terhadap sektor pariwisata dan memastikan Yogyakarta tetap menjadi destinasi yang aman dan nyaman bagi wisatawan.

Penulis: Rizky Amanda Putra Hanka, Ghefira Isyraq Kirana, Damelia Agnes D.Tampubolon

Editor: Rizky Amanda Putra Hanka

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama