Pengamen di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta sedang menghibur wisatawan. (RADAR JOGJA/ELANG KHARISMA DEWANGGA) |
Yogyakarta sebagai Kota Wisata
JELAJAHWANGSA.com - Indonesia sebagai negara dengan keindahan alam dan keragaman budaya menjadikannya sebagai tujuan bagi wisatawan. Salah satu tujuan wisata populer di Indonesia adalah Yogyakarta. Kota berjuluk kota wisata sekaligus pelajar ini memiliki beberapa titik yang menjadi daya tarik wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Salah satu destinasi yang terkenal adalah Candi Prambanan. Tempat ini tidak hanya menawarkan keindahan arsitektur, tetapi juga menyuguhkan pertunjukan seni budaya seperti sendratari Ramayana. Keraton Yogyakarta juga menjadi daya tarik tersendiri, di mana pengunjung dapat merasakan langsung sejarah dan budaya Yogyakarta melalui arsitektur megah yang khas dan berbagai peninggalan sejarah yang ada di dalamnya. Jika ingin berwisata menikmati pusat Kota Yogyakarta, Malioboro dan Alun-alun Kidul (Selatan) merupakan tempat wisata yang menarik.
Malioboro adalah salah satu kawasan cagar budaya yang terkenal dan menjadi ikon Kota Yogyakarta. Selain letaknya yang strategis di pusat kota, Malioboro juga dikenal sebagai 'Sumbu Filosofi' yang menghubungkan Tugu Pal Putih, Keraton, dan Panggung Krapyak. Hal yang menjadi daya tarik Malioboro adalah tersedianya banyak kuliner khas dan pusat perbelanjaan yang menawarkan oleh-oleh seperti pakaian, kerajinan tangan, dan sebagainya. Wisata jalanan tersebut biasanya juga menampilkan pertunjukan seni seperti kesenian khas Yogyakarta dan live music serta juga terdapat berbagai spot foto menarik yang Instagramable.
Sementara itu, Alun-Alun Kidul atau Alkid adalah destinasi wisata ikonik di Yogyakarta yang terletak di belakang Keraton Yogyakarta dan dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I antara tahun 1755 hingga 1792. Di masa lalu, tempat ini berfungsi sebagai tempat latihan prajurit. Kini, Alun-alun Kidul telah beralih fungsi menjadi ruang publik yang ramai dengan berbagai aktivitas menyenangkan, seperti wisata kuliner tradisional dari pedagang lokal hingga permainan tradisional. Suasana malam hari di alun-alun ini sangat hidup dengan lampu-lampu penerangan yang menarik banyak pengunjung untuk bersantai.
Namun, di balik pesonanya, keberadaan pengamen di lokasi-lokasi strategis seperti Alun-alun Kidul dan Malioboro mulai menimbulkan masalah yang dikhawatirkan dapat merusak citra pariwisata Yogyakarta. Pengamen yang terkadang bersikap agresif dalam meminta sumbangan menyebabkan sebagian pengunjung merasa terintimidasi dan terganggu. Fenomena ini menciptakan dilema bagi para wisatawan, di satu sisi mereka ingin menikmati keindahan dan keunikan Yogyakarta, tetapi di sisi lain mereka harus menghadapi situasi yang tidak menyenangkan akibat perilaku pengamen dan pengemis tersebut. Meskipun mereka merupakan bagian dari masyarakat yang berjuang untuk mencari nafkah, perilakunya dalam masyarakat seringkali terlalu agresif hingga dapat menyebabkan pengunjung merasa tertekan dan tidak betah berada di tempat-tempat tersebut.
Faktor Meningkatnya Pengemis dan Pengamen di Yogyakarta
Banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta tentu memberikan dampak, baik positif maupun negatif terhadap kehidupan masyarakat sekitar. Salah satu dampak yang marak terjadi beberapa waktu belakangan adalah berbagai gangguan yang disebabkan oleh pengamen atau pengemis. Banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta menyebabkan pengamen dan pengemis memanfaatkan peluang tersebut untuk memperoleh keuntungan. Namun, hal ini justru menimbulkan masalah karena seringkali mereka melakukan hal yang tidak menyenangkan terhadap pengunjung obyek wisata.
Sebelumnya pada Selasa (28/05/2024), seorang wanita lansia yang merupakan pengemis meresahkan wisatawan di kawasan Malioboro dengan menyemburkan asap rokok apabila tidak diberi uang. Lalu pada Minggu, (1/12/2024) lalu, viral seorang pengamen yang marah-marah kepada wisatawan di kawasan Malioboro lantaran tak diberi uang. Kejadian ini tentu menimbulkan perasaan takut, resah, dan tak nyaman bagi wisatawan. Beberapa kasus ini menunjukkan keberadaan pengamen dan pengemis yang masif di Kota Yogyakarta. Lantas, apa yang menyebabkan menjamurnya keberadaan komunitas ini?
Jika ingin digali secara mendalam, banyak faktor kompleks yang menyebabkan fenomena ini menjadi marak di Yogyakarta. Faktor ekonomi seperti kemiskinan dan minimnya lapangan pekerjaan menyebabkan sebagian masyarakat berusaha untuk memperoleh penghasilan bagaimana pun caranya. Salah satunya dengan memutuskan menjadi pengamen atau pengemis. Namun hal yang menjadikan Yogyakarta menarik bagi pengamen dan pengemis adalah semakin banyaknya pengunjung yang berwisata.
Dilansir dari Mojok.co, pengamen dan pengemis yang ada di beberapa tempat wisata kebanyakan berasal dari luar Yogyakarta. Melihat banyaknya pengunjung yang berwisata ke Yogyakarta menyebabkan mereka tertarik untuk bermigrasi dan mencari peruntungan sebagai pengamen dan pengemis. Semakin banyak pengunjung yang datang, semakin banyak pula kemungkinan penghasilan yang mereka terima. Kepala Satpol PP DIY Noviar Rahmad mengungkapkan bahwa kebanyakan pengemis atau pengamen ini berasal dari luar Yogyakarta. “Kebanyakan dari luar wilayah DIY, mereka ke sini karena banyak wisatawan yang memberikan uang saat mereka mengemis,” tuturnya dilansir Mojok.co, dikutip dari Harian Jogja. Hal ini mereka manfaatkan guna memperoleh keuntungan yang sayangnya berdampak negatif terhadap wisatawan yang sering menjadi target operasi pengamen dan pengemis ini.
Pengamen dan pengemis di Kota Yogyakarta yang mayoritas berasal dari luar kota turut mendapat tanggapan dari Dinas Pariwisata. Staf Bidang Daya Tarik Pariwisata, Teguh Setiawan mengungkap bahwa fenomena ini sangat kompleks. “Keberadaan mereka itu di daerah mana pun sering dilakukan penertiban oleh pihak terkait dari pemerintah. Tapi sayangnya beberapa daerah hanya sekadar melakukan penertiban seperti memindahkan. Jadi ibaratnya memindah sampah dari halaman rumah kita ke rumah tetangga. Biarkan masalah itu tetap ada, asal gak di halaman rumahku,” ungkap Teguh. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin saja pengamen dan pengemis yang datang ke Yogyakarta berasal dari kiriman daerah lain. Dampak yang diterima Yogyakarta tentu pada jumlah mereka yang terus bertambah, menyebabkan wisatawan menjadi tidak nyaman ketika menikmati wisata di Kota Yogyakarta.
Tidak Semua Pengamen Mengganggu
![]() |
Staf Bidang Daya Tarik Pariwisata, Teguh Setiawan dalam wawancaranya menyampaikan tanggapan terkait pengamen dan pengemis di Kota Yogyakarta (JELAJAHWANGSA.com/Arsy Qamara)
|
Malioboro merupakan salah satu tempat wisata yang ramai oleh wisatawan dan dapat mengundang pengamen atau pengemis untuk datang mencari peruntungan. Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta menyatakan bahwa tidak semua pengamen di Malioboro mengganggu. Staf Bidang Daya Tarik Pariwisata, Teguh Setiawan kembali mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka juga ada yang berkontribusi dalam menciptakan suasana yang khas dan menarik bagi wisatawan. “Saya sendiri suka dengan pengamen yang bagus, itu nyaman dan menarik. Proper juga dalam mempresentasikan musik,” pungkasnya kepada Jelajah Wangsa.
Guna mengatur hal tersebut, di Malioboro sendiri terdapat Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang menangani semua aktivitas di sekitar kawasan tersebut. Dalam upaya menjaga ketertiban dan kenyamanan, UPT Malioboro mengharuskan semua aktivitas ekonomi, termasuk pertunjukan musik oleh pengamen, untuk mendapatkan izin resmi. Dilansir dari detik.com, Kepala UPT Malioboro, Ekwanto, menjelaskan bahwa sesuai dengan Perda Kota Jogja Nomor 7 Tahun 2024, segala kegiatan di kawasan tersebut harus terdaftar dan disetujui untuk menghindari gangguan terhadap pejalan kaki dan menjaga keindahan kawasan Sumbu Filosofi. Pelaku aktivitas ekonomi di kawasan Malioboro sudah terdata dan mempunyai nomor registrasinya masing-masing. Hal ini dilakukan guna membatasi jumlah pelaku ekonomi yang terlalu banyak. Bayangkan jika mereka tidak dibatasi jumlahnya, tentu kemunculan pengamen di Malioboro tidak akan terkontrol. Semua pelaku ekonomi tersebut diawasi oleh Jogoboro, yang merupakan sebutan bagi petugas yang bertugas menertibkan situasi dan kondisi di kawasan Malioboro.
Meskipun ada aturan yang ketat, masih terdapat pelanggaran di mana beberapa pengamen beroperasi tanpa izin di kawasan Malioboro. Ekwanto mencatat bahwa petugas sering kali harus melakukan penertiban terhadap aktivitas yang tidak sesuai dengan regulasi, termasuk fenomena pengamen online yang baru-baru ini viral di media sosial. Kegiatan tersebut dianggap mengganggu karena dilakukan di trotoar, yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki.
Apa Upaya yang Dilakukan oleh Pemerintah?
Banyaknya pengamen di sekitar Malioboro yang dikeluhkan oleh wisatawan tentu menjadi salah satu fokus utama yang ingin diselesaikan oleh pemerintah setempat. Berbagai fenomena yang terjadi ini menyebabkan pemerintah turun tangan menertibkan pengamen dan pengemis. Pemerintah Kota Yogyakarta menghimbau masyarakat untuk tidak memberikan uang maupun bantuan kepada pengemis dan gelandangan. Apabila dilakukan secara terus menerus, dikhawatirkan membuat mereka merasa nyaman dengan kondisi tersebut.
Selain itu guna menciptakan lingkungan yang lebih tertib dan aman, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dikolaborasikan dengan Dinas Sosial melakukan tindakan penertiban pengamen dan pengemis, termasuk gelandangan yang mengganggu. Upaya penertiban lain juga turut dilakukan oleh UPT pengelolaan Kawasan Cagar Budaya Kota Yogyakarta dengan melakukan penyitaan alat musik pengamen yang diduga mengganggu ketertiban. Hal tersebut dilakukan guna untuk memberikan efek jera pada para pengamen yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditegakkan oleh pemerintah setempat. Dalam hal ini, pengamen juga diminta untuk membuat surat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatannya. Petugas dari Cagar Budaya Yogyakarta yang disebut dengan “jogomaton” bertugas selama 24 jam. Kawasan yang menjadi area tugas jogomaton dimulai dari Tugu Pal Putih sampai ke Titik Nol.
Melalui Dinas Sosial, Peraturan daerah Perundang-undangan Satpol PP Kota Yogyakarta mengatakan penertiban pengemis dan gelandangan yang mengganggu tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Satpol PP Kota Yogyakarta mencatat selama Januari 2024 sudah menertibkan 22 pengemis. Perintah Kota Yogyakarta melibatkan masyarakat untuk turut menertibkan pengamen, gelandang, dan pengemis dengan menyediakan prosedur penertiban. untuk menertibkan para pengamen dan pengemis dengan pelayanan yang disediakan untuk pihak terkait. Selain itu, Dinas Sosial Kota Yogyakarta juga menyediakan perlindungan dan penampungan sementara untuk ibu dan anak, termasuk anak dalam kondisi khusus (disabilitas) dan ibu hamil terlantar.
Bagan alur penanganan gelandang dan pengemis |
Demi dapat meningkatkan pengalaman berwisata bagi wisatawan, Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta melakukan evaluasi yang rutin diselenggarakan setiap akhir tahun. Evaluasi dilakukan dengan menyebar kuisioner kepada wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta, seperti di kawasan Malioboro. “Kita selalu rutin sebar kuisioner tiap akhir tahun, biasanya Desember akhir di tempat-tempat wisata yang ada di Kota Jogja. Contohnya Malioboro,” ucap Teguh Setiawan, Staf Bidang Daya Tarik Pariwisata Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta. Melalui masukan dan keluhan dari wisatawan, diharapkan data yang terkumpul mampu menjadi bahan pengembangan kualitas wisata di Kota Yogyakarta.
Apa Kata Wisatawan?
Di tengah keramaian sebuah tempat wisata, keberadaan pengemis dan pengamen sering kali menjadi perhatian tersendiri bagi wisatawan. Safitri, seorang pengunjung asal Malang, mengungkapkan pendapatnya mengenai fenomena ini. Menurutnya, keberadaan keduanya memang cukup mengganggu, apalagi jika pengamen hanya tampil tanpa alat musik dan bernyanyi dengan setengah hati. "Kalau cuman asal nyanyi dan nggak ada usaha, rasanya jadi nggak nyaman. Tapi beda cerita kalau mereka serius, suaranya bagus, dan pakai alat musik yang tepat. Malah saya jadi menikmati," jelasnya.
Safitri menambahkan bahwa selain pengamen, para pengemis juga kerap kali menjadi sorotan. Ia merasa miris melihat banyak pengemis yang tampak memanfaatkan situasi tanpa memberikan usaha lebih untuk mencari rezeki. "Kalau melihat mereka cuma meminta tanpa alasan yang jelas, kadang saya jadi ragu untuk memberi. Tapi kalau ada yang terlihat benar-benar membutuhkan, saya pasti bantu sebisa saya," pungkasnya.
Sementara itu, Shafira, wisatawan asal Tangerang memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Menurutnya, suasana di Yogyakarta justru terasa khas karena keberadaan mereka, meskipun tetap perlu ada batasan. "Di Jogja itu ada pengamen yang unik, misalnya pakai alat musik tradisional atau tampil dengan kreatif. Saya rasa itu jadi daya tarik tersendiri, asalkan tidak memaksa atau mengganggu. Tapi kalau soal pengemis, saya pikir perlu ada pengawasan lebih, karena kadang ada yang memanfaatkan belas kasih wisatawan secara berlebihan," ungkapnya kepada Jelajah Wangsa.
Shafira menilai, pengelolaan tempat wisata di Yogyakarta perlu mempertahankan ciri khas daerah, termasuk keberadaan seni jalanan seperti pengamen, namun tetap memastikan bahwa aktivitas tersebut tidak merugikan kenyamanan wisatawan. "Jogja itu kan kota seni dan budaya, jadi keberadaan pengamen yang kreatif itu bisa dibilang bagian dari pengalaman wisata. Tapi kalau tidak tertib, ya jadinya negatif juga," tambahnya.
Tanggapan Masyarakat Lokal
Pendapat senada datang dari masyarakat lokal yang sehari-hari menyaksikan aktivitas para pengemis dan pengamen di sekitar tempat wisata. Mereka merasa keberadaan pengemis menjadi masalah jika perilakunya tidak sopan, seperti marah-marah ketika tidak diberi uang. Hal serupa juga berlaku untuk pengamen. "Kalau mereka benar-benar bermaksud menghibur, memakai alat musik yang pantas, dan suaranya bagus, ya malah enak didengar. Tapi kalau cuma pura-pura ngamen untuk mengemis, itu jelas mengganggu," ungkap Kenny, salah seorang warga. Fenomena ini sering menimbulkan dilema bagi masyarakat lokal, yang mana di satu sisi ingin menjaga suasana nyaman, tetapi juga memahami sisi kemanusiaan dari mereka yang juga mencari nafkah.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat masih merasa iba terhadap para pengemis dan pengamen. Mereka beranggapan bahwa tindakan memberi uang merupakan bentuk kepedulian sesama, terutama bagi mereka yang diduga mengalami kesulitan ekonomi. "Kadang saya kasih uang kecil, karena kasihan. Tapi tetap ada batasnya, kalau mereka memaksa atau kasar, itu yang bikin tidak nyaman," ujar Rina, seorang pedagang di kawasan wisata sekaligus masyarakat lokal.
Keberadaan pengamen dan pengemis di Yogyakarta pada kenyataannya memang memberikan rasa tidak nyaman dan aman bagi wisatawan. Pengamen yang tidak sopan dan bersikap buruk memang dapat menimbulkan citra buruk tempat wisata di Yogyakarta bagi wisatawan. Namun hal tersebut tidak serta merta langsung berdampak pada citra pariwisata Yogyakarta. Hal ini karena masih ada pengamen yang mampu bersikap baik dan ramah kepada wisatawan. Lalu, masih banyak pula pengamen yang mampu menghibur pengunjung di tempat wisata dengan sungguh-sungguh menggunakan berbagai alat musik yang memadai. Maka dari itu, pemerintah bersama elemen masyarakat harus bisa mengatasi permasalahan pengamen yang sering meresahkan. Dengan begitu, wisatawan dapat menikmati liburan dan hiburan dengan nyaman tanpa ragu apabila ingin memberikan sumbangan. Berbeda dengan pengamen, pengemis memang sudah dihimbau oleh pemerintah untuk tidak dipelihara. Banyak pengemis yang seringkali memohon belas kasihan kepada pengunjung tempat wisata yang mana berusaha menimbulkan perasaan iba.
Di sisi lain, pemerintah bersama instansi terkait senantiasa berusaha mengatasi ketidaknyamanan wisatawan yang melibatkan pengamen dan pengemis yang mengganggu. Contohnya Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta dalam menyikapi pengamen yang kerap hadir di Malioboro. Pihak dinas senantiasa berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi para pengamen dengan kenyamanan wisatawan. Mereka percaya bahwa dengan penataan yang baik dan pemberian izin yang tepat dengan aturan yang telah dirancang, keberadaan pengamen bisa menjadi daya tarik tersendiri untuk pariwisata Yogyakarta tanpa mengganggu ketertiban umum. Upaya ini juga bertujuan untuk mendukung ekosistem budaya dan ekonomi di Malioboro, sehingga kawasan ini tetap menjadi salah satu destinasi favorit, baik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.